TANAH DATAR – Sidang lanjutan praperadilan hari enam yang diajukan seorang wartawan media online nasional asal Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat Joni Hermanto melawan Kapolda Sumatera Barat terkait terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus penganiayaan yang dialaminya dengan tersangka inisial AA (46) yang dikeluarkan Kapolsek Lima Kaum Polres Tanah Datar, beragendakan pembacaan kesimpulan kedua belah pihak (Pemohon dan Termohon).
Dalam keseimpulannya mahasiswa fakultas hukum Universitas Ekasakti Padang itu menolak semua dalil polisi yang disampaikan melalui kuasa hukum termohon dari Bidang Hukum Polda Sumbar AKP Syafrinal, SH, MH, Iptu Eldi Syafrinur, SH dan Bripka Johan Chandro, SH, MH.
“Bahwa Pemohon tetap berpegang teguh pada dalil-dalil permohonan Pemohon yang dibacakan pada persidangan tanggal 27 Juni 2022 serta dipertegas dengan Replik yang diajukan pada persidangan tanggal 29 Juni 2022 dan menolak jawaban Termohon tertanggal 28 Juni 2022 dan Duplik tertanggal 30 Juni 2022, kecuali yang secara tegas dan jelas diakui kebenarannya oleh Termohon, ” ujar Joni saat membacakan kesimpulannya diruang sidang PN Batusangkar, Senin (04/06).
Tidak hanya itu, wartawan yang sudah meraih predikat wartawan Utama yang merupakan kompetensi tertinggi dibidang jurnalistik itu juga menuding alat bukti yang dihadirkan polisi, yakni formulir tanggapan peserta gelar perkara yang menjadi dasar polisi menerbitkan SP3.
Menurut Joni, dalam sidang pembuktian terungkap bahwa gelar perkara yang dilakukan polisi cacat hukum berikut dengan semua keputusan yang dihasilkan juga cacat hukum, karena sesuai ketentuan hukum yang berlaku polisi seharusnya melibatkan dirinya selaku pelapor dalam gelar perkara dimaksud, jika tidak maka proses gelar dianggap tidak sah.
“Dimana secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan menjadi cacat hukum, jika proses gelar perkara sudah dinyatakan cacat hukum, maka semua keputusan yang dihasilkan juga cacat hukum, ”lanjutnya dalam pembacaan kesimpulan.
Joni lalu merinci terkait landasan hukum pelaksanaan gelar perkara, menurutnya dalam agenda pembuktian sidang membuktikan adanya kesalahan prosedur dan pelanggaran SOP yang dilakukan penyidik dalam pelaksanaan gelar perkara dimaksud, dimana penyidik tidak melibatkan pelapor dan terlapor, seperti yang tertuang dalam aturan hukum pelaksanaan gelar perkara terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan aturan teknisnya dalam Petunjuk Pelaksanaan Nomor Juklak/5/IV/1984/Ditserse, tanggal 1 April 1984 tentang Pelaksanaan Gelar Perkara. Serta terdapat juga dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sidang gugatan praperadilan berawal atas ketidakpuasan Joni selaku korban penganiayaan terhadap kinerja penyidik dari Polsek Lima Kaum Polres Tanah Datar yang telah menghentikan secara sepihak perkara tersebut.
Merasa keberatan, Joni lalu mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Batusangkar, gugatan Joni lalu diterima dan diregister oleh pengadilan dengan perkara Nomor : 01/PID.PRA/2020/PN.Bsk, sidang dipimpin oleh hakim tunggal Erwin Radon, SH, MH.
Beberapa pihak turut menyoroti semangat Joni dalam menghadapi gugatan praperadilan yang ia layangkan, mengingat ia menghadapinya sendiri serta menolak didampingi kuasa hukum.
“Saya menolak didampingi kuasa hukum bukan saya menganggap pemahaman hukum saya sudah sangat matang, namun selain merupakan hak saya sebagai warga neraga, gugatan preperadilan ini juga ajang belajar bagi saya untuk mempraktekan ilmu yang saya dapat di bangku kuliah, ” lanjutnya saat berbincang sesaat keluar dari ruang sidang pengadilan.
Seperti diberitakan sebelumnya, terkait gugatan praperadilan yang diajukan Joni, ada beberapa pihak dari lembaga bantuan hukum dan pengacara mandiri menawarkan bantuan penampingan hukum kepada Joni, namu ia menolaknya dengan tegas.(**)